Selasa, 19 April 2016

Budaya Carok hasil ciptaan penjajah Belanda

Carok merupakan tradisi bertarung yang
disebabkan karena alasan
tertentu yang
berhubungan dengan harga diri kemudian diikuti antar kelompok atau antar klan [1] dengan menggunakan senjata (biasanya celurit ). Tidak ada peraturan resmi
dalam pertarungan ini
karena carok merupakan
tindakan yang dianggap
negatif dan kriminal serta melanggar hukum. Ini
merupakan cara suku Madura dalam mempertahankan harga diri
dan "keluar" dari masalah
yang pelik. Biasanya, "carok"
merupakan jalan terakhir
yang di tempuh oleh
masyarakat suku Madura
dalam menyelesaikan suatu
masalah. Carok biasanya terjadi jika
menyangkut masalah-
masalah yang
menyangkut
kehormatan/harga diri bagi
orang Madura (sebagian besar karena masalah
perselingkuhan dan harkat
martabat/kehormatan
keluarga) Banyak yang
menganggap carok adalah
tindakan keji dan
bertentangan dengan
ajaran agama meski suku Madura sendiri kental
dengan agama Islam pada umumnya tetapi, secara
individual banyak yang
masih memegang tradisi Carok. [butuh rujukan ] Pada tanggal 13 Juli 2006 , tujuh orang tewas dan
tiga orang luka berat
akibat carok massal di Desa Bujur Tengah , Kecamatan Batu Marmar , Kabupaten Pamekasan , Madura, Jawa Timur . Jumlah korban diduga
masih akan bertambah,
karena banyak korban
yang melarikan diri
meskipun dalam keadaan
luka. Etimologi Kata carok sendiri berasal
dari bahasa Madura yang berarti 'bertarung atas nama
kehormatan'. Sejarah Carok Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang . Satu sama lain tak bisa
dipisahkan. Hal ini muncul di
kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad ke-18 M. Carok merupakan
simbol kesatria dalam
memperjuangkan harga
diri (kehormatan). Pada zaman Cakraningrat , Jokotole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal
budaya tersebut. Budaya
yang ada waktu itu adalah
membunuh orang secara
kesatria dengan
menggunakan pedang atau keris . Senjata celurit mulai muncul pada zaman
legenda Pak Sakera , seorang mandor tebu dari Pasuruan yang hampir tak pernah meninggalkan
celurit setiap pergi ke
kebun untuk mengawasi
para pekerja. Celurit bagi
Sakera merupakan simbol
perlawanan rakyat jelata. Carok dalam bahasa Kawi Kuno artinya perkelahian.
Pertengkaran tersebut
biasanya melibatkan dua
orang atau dua keluarga
besar, bahkan sering
terjadi antar penduduk desa di Bangkalan , Sampang , dan Pamekasan . Pemicu dari carok ini berupa perebutan
kedudukan di keraton,
perselingkuhan, rebutan
tanah, bisa juga dendam
turun-temurun selama
bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan
Madura saat dipimpin Prabu
Cakraningrat dan abad 14 di
bawah pemerintahan
Jokotole, istilah carok
belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan
Penembahan Semolo, putra
dari Bindara Saud putra Sunan Kudus pada abad ke-17 M tidak ada istilah
carok. Munculnya budaya carok di
pulau Madura bermula pada
zaman penjajahan Belanda,
yaitu pada abad ke-18 M.
Setelah Pak Sakera
tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan,
Jawa Timur, orang-orang
bawah mulai berani
melakukan perlawanan pada
penindas. Senjatanya
adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian
melakukan
perlawanan.Namun, pada
masa itu mereka tidak
menyadari, kalau dihasut
oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan
keluarga Blater (jagoan)
yang menjadi kaki
tangan penjajah Belanda,
yang juga sesama
bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan
blater yang seringkali
melakukan carok pada
masa itu. Pada saat carok mereka
tidak menggunakan
senjata pedang atau keris
sebagaimana yang
dilakukan masyarakat
Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan
celurit sebagai senjata
andalannya.Senjata
celurit ini sengaja
diberikan Belanda kepada
kaum Blater dengan tujuan merusak citra Pak
Sakera sebagai pemilik
sah senjata tersebut.
Karena dia adalah seorang
pemberontak dari kalangan
santri dan seorang muslim yang taat menjalankan
agama Islam. Celurit
digunakan Sakera
sebagai simbol perlawanan
rakyat jelata terhadap
penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda,
celurit disimbolkan sebagai
senjata para jagoan dan
penjahat.Upaya Belanda
tersebut rupanya berhasil
merasuki sebagian masyarakat Madura dan
menjadi filsafat hidupnya.
Bahwa kalau ada persoalan,
perselingkuhan, perebutan
tanah, dan sebagainya
selalu menggunakan kebijakan dengan jalan
carok. Alasannya adalah
demi menjunjung harga
diri. Istilahnya, daripada putih
mata lebih baik putih
tulang. Artinya, lebih
baik mati berkalang tanah
daripada menanggung
malu.Tidak heran jika terjadi persoalan
perselingkuhan dan
perebutan tanah di Madura
maupun pada keturunan
orang Madura di Jawa dan
Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan
carok perorangan maupun
secara massal. Senjata
yang digunakan selalu
celurit. Begitu pula saat
melakukan aksi kejahatan, juga
menggunakan
celurit.Kondisi semacam itu
akhirnya, masyarakat
Jawa, Kalimantan,
Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap orang
Madura suka carok, kasar,
sok jagoan, bersuara
keras, suka cerai, tidak
tahu sopan santun, dan kalau
membunuh orang menggunakan celurit. Padahal sebenarnya tidak
semua masyarakat Madura
demikian. Masyarakat
Madura yang memiliki
sikap halus, tahu sopan
santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak
suka bertengkar, tanpa
menggunakan senjata
celurit, dan sebagainya
adalah dari kalangan
masyarakat santri. Mereka ini keturunan
orang-orang yang zaman
dahulu bertujuan melawan
penjajah Belanda.Setelah
sekian tahun penjajah
Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok
dan menggunakan celurit
untuk menghabisi
lawannya masih tetap ada,
baik itu di Bangkalan,
Sampang, maupun Pamekasan. Mereka
mengira budaya tersebut
hasil ciptaan leluhurnya,
tidak menyadari bila hasil
rekayasa penjajah
Belanda. Carok: Hak, Harga Diri dan
Wanita Tiang penyangga
kuatnya tradisi Madura
tak lepas dari prinsip “
Lebbhi bagus pote tolang
etembheng pote mata “
maksudnya lebih baik mati daripada menanggung malu.
Ungkapan ini berlaku
untuk mempertahankan
martabat, hak dan harga
diri sebagai orang Madura.
Dan biasanya timbulnya perselisihan tidak lepas dari
permasalahan lingkungan
dan wanita. Dan tentang wanita sendiri,
bagi laki-laki Madura
mendapat tempat
tertinggi, karena dari
wanitalah kaum pria di
Madura menjadi lebih bersemangat, dan dari kaum
wanita pula dapat
menimbulkan pembunuhan.
Karena tingginya
kedudukan wanita Madura,
maka kaum wanita khususnya para gadis
dikonotasikan dengan
perlambang melati. Maka
tak heran falsafah melati
menjadi pujian bagi
orang-orang tua Madura dengan ucapan “duh tang
malate”, ta’ gegger polana
ojen, ban ta’ elop polana
panas are”, artinya; oh
melatiku, yang tak
gugur karena hujan dan tak layu karena panas
matahari. Jadi kalaupun dalam suatu
peristiwa carok lantaran
wanita hal itu telah
merupakan kenyataan
yang tak mungkin
dihindarkan. Demikian pula masalah hak. Permasalahan
ini erat kaitannya dengan
permasalahan linkungan
yang dijajah atau
diganggu oleh pihak lain.
Dalam wujud ini, biasanya banyak dikaitkan
dengan permasalahan irigasi
yang merupakan penentu
kelangsungan hidup bagi
masyarakat setempat.
Karena hanya air yang menjadikan mereka dapat
bertahan. Tapi dalam kondisi yang
lain, peranan wanita Madura
dibandingkan dengan
kaum pria belum seluas
sebagaimana peran-peran
yang dilakukan wanita- wanita kota besar,
meskipun pada dasarnya
wanita Madura telah
mengenal persamaan hak dan
kewajiban dengan suami.
Atau dengan kata lain bisa disebut semacam
emansipasi pembawaan naluri.
Seorang istri mampunyai
peran dan tanggung
jawab yang sangat
penting untuk menegakkan martabat dan
kehidupan rumah tangga.
Mereka bersama-sama turun
ke lading membanting
tulang dan memeras
keringat hingga “ agili pello koneng “ (mengalir
keringat kuning),
maksudnya bekerja
keras sampai tuntas. Rasa
kebersamaan kerja ini
juga berlaku dipasar, dilaut, atau juga dimana
saja sang suami
membanting tulang. Namun satu kelebihan
wanita Madura, tugas-
tugas yang lain, baik
sebagai ibu dari anak-
anaknya maupun sebagai
pendamping suami dari menyiapkan makan dan
minum maupun tetek
bengek lainnya, sang istri
akan selalu setia melayani.
Tetapi di dalam persamaan
hak tersebut, wanita Madura menurut tradisi harus
selalu hidup dibawah
kekuasaan pria (suami).
Artinya wanita Madura
harus tunduk, patuh, taat
dan menyerah pada kemauan suami dan tidak dibenarkan
untuk menolak maupun
membantah. Bahkan untuk
menentukan perkawinan
diteruskan atau
diputuskan. Dan apabila suami tidak mampu
memberikan keturunan,
biasanya sang suami
mengambil inisiatif untuk
menalak atau kawin lagi
dengan alas an demi meneruskan keturunan. Demikian pula sebaliknya
sang suami tidak akan
merestui bila istri
berkehendak minta cerai.
Kecuali bila suami
melepaskan dengan suka rela. Tapi hal itu jarang
dan sulit terjadi, karena
menyangkut prestise dan
harga diri sebagai laki-laki
yang harus dipertahankan.
Kalaupun sampai terjadi, maka akan berakibat
buruk dan
berkepanjangan, terutama
kalau perkawinan terjadi
antar keluarga. Hubungan
keluarga akan menjadi retak. Akibat yang lain
bila suatu ketika bekas
istrinya kawin lagi
dengan pria lain, maka tak
ayal akan terjadi dan
timbul permusuhan, cemburu dan sakit hati bekas
suaminya. Apalagi
dikemudian hari bekas istri
menemukan kebahagiaan
lain. Pada prinsipnya, suami
Madura biasanya bersikap
keras dan tegas dalam
membela kehormatan dan
kesudian istrinya. Dan
umumnya pangkal utama timbulnya perselisihan dari
kaum wanita. Sehingga
tak heran timbulnya
carok, kadang hanya
masalah sepele, yaitu
lantaran bekas istri dilamar atau dikawin dengan laki-
laki lain. Terkadang konflik
antara dua orang biasanya
merembet melibatkan orang
lain, antar keluarga,
kerabat bahkan sampai
melibatkan semua penduduk kampong. Peristiwa carok
antar kampong yang
cukup mengerikan pernah
terjadi beberapa tahun
lampau, tepatnya di
Bangkalan. Carok missal itu terjadi antara penduduk
desa Bilaporah dengan
penduduk Jodih saling
berhadapan dengan clurit
ditangan. Dan akibatnya 5
orang tewas serta beberapa puluh lainnya luka-luka
parah. Kejadian ini sempat
menggegerkan
masyarakat Bangkalan
khususnya, hingga
membuat Bupati, Polisi, Tentara dan para ulama
prihatin dan turun tangan.
Dan banyak contoh-contoh
lain yang kerap terjadi
peristiwa carok di pulau
Madura maupun daerah-daerah lain di Jawa yang
kebanyakan dilator
belakangi oleh adat istiadat
yang dibawa dari Madura. Beberapa pendapat
mengatakan, pengertian
carok sebenarnya duel
antara satu melawan satu.
Itupun dilakukan dengan
unsure sengaja. Artinya kemampuan dan
ketinggian ilmu yang
dimiliki seseorang tidak
akan diketahui bila tanpa
dibuktikan dilapangan.
Jadi bila seseorang telah memungkinkan untuk
menjajal ketinggian
ilmunya, maka biasanya ia
dengan sengaja
mengganggu
ketentraman orang lain, baik mengganggu
keluarga maupun istri
seseorang yang dianggap
memiliki kemampuan dan
ilmu yang setara. Bila tak
heran akan memancing dan merangsang emosi pihak
yang keluarganya
diganggu untuk
menantang carok. Nah
saat itu pula mereka
mengadakan perjanjian menetukan waktu dan
tempat bertarung dengan
disaksikan beberapa orang/
tokoh yang lain. Sementara pendapat yang
lain mengatakan, carok
pada awalnya merupakan
suatu bentuk permainan
pentas yang dilakukan
masyarakat Madura tradisional. Menurut cerita,
pentas semacam itu tiap-tiap
daerah mempunyai nama
tersendiri. Di daerah
Sampang menyebut
“karja” di Pamekasan menyebut “ salabadan”,
sedang di Sumenep disebut
“pojian”. Pentas semacam tersebut
digelar dalam bentuk
teater arena (semacam
Lenong Rumpi). Jadi
antara pelaku dan penonton
tidak ada jarak, mereka bergantian tampil sesuai
dengan karakter masing-
masing dengan diiringi
“saronen”, yaitu sejenis
tabuhan yang biasa
dialunkan sebagai pengiring kerapan sapi
atau hajat lainnya,
merupakan jenis music
tradisional Madura. Dalam gelar tersebut
biasanya menampilkan
nama-nama tokoh artificial
sebagai pengantar cerita
kepahlawanan yang
menggambarkan tokoh- tokoh Madura seperti
Sakerah, Ke’ Lesap dan
sebagainya. Dalam babak
tersebut diperagakan suatu
bentuk perkelahian sebagai
klimaks cerita. Bahkan pernah sampai
terjadi perkelahian
sungguhan, dan
mengakibatkan salah
seorang diantaranya tewas.
Melihat latar belakang peristiwa tersebut, karena
orang-orang Madura telah
kadung di klaim sebagai
orang yang berwatak
keras, bringas dan
“mbalelo”. Maka setiap perkelahian dan
menjatuhkan korban
yang dilakukan orang
Madura, dianggap sebagai
perkelahian carok. Ironisnya, pada gilirannya
masyarakat luar Madura
memandang Madura sebagai
wujud berindentik
kekerasan dan carok.
Padahal bila ditelusuri lebih jauh, justru di Madura
banyak terkandung nilai-
nilai luhur. Baik dari segi
social budaya, social
masyarakat maupun social
ekonomi. Dengan demikian, prospek
masyarakat Madura bak
mutiara dalam bukit tanah
kapur (Syaf Anton
Wr). Wanita: Di Mata Orang
Madura Adat dan kepribadian
orang Madura merupakan
titik tolak
terbentuknya watak
dengan prinsip teguh
yang dipengaruhi oleh karakteristik geografis
daerahnya. Satu prinsip
yang menjadi fenomena
orang Madura, ialah dikenal
sebagai orang yang
mampu mengambil dan menarik manfaat yang
dilakukan dari hasil budi
orang lain, tanpa
mengorbankan
kepribadiannya sendiri.
Demikian pula orang Madura pada umumnya menghargai
dan menjunjung tinggi
rasa solidaritas kepada
orang lain. Sikap hidup semacam ini,
menjadikan orang-orang
Madura di luar Madura mudah
dikenal, supel serta
menunjukkan sikap
toleran terhadap sesama. Kadang kontradiktif
bila melihat penampilan fisik
bila dibandingkan
kenyataan hidup yang
sebenarnya. Sebagai
contoh, bila satu rumah tangga kedatangan tamu
(apalagi tamu jauh), dapat
dipastikan mereka sangat
dihormati. Mereka berani
berkorban untuk menjamu
sang tamu, meski hanya secangkir air. Kalaupun
dapat, mereka berusaha
memuaskan dengan jamuan
lebih, bahkan berani mencari
hutang demi menghormati
tamu. Tapi sebaliknya apabila penghargaan itu
ditolak atau meski sedikit
tidak mau dicicipi
suguhannya, maka tamu
tersebut berarti dianggap
menginjak penghargaan tuan rumah. Dan
kemungkinan semacam ini
akan tumbuh benih-benih rasa
benci dan dendam Sebagai suku yang hidup
di kepualauan, orang Madura
dijaman dulu kurang
mendapat kesempatan
untuk berinteraksi dengan
dunia luar. Mereka sangat berhati-hati, dan
akibatnya sesuatu yang
datang dari luar merupakan
ancaman bagi dirinya.
Meskipun pada dasarnya
mereka konservatif, yakni berusaha memelihara
dan menjamin nilai-nilai
yang mengakar dalam
dirinya. Tapi dalam segi
yang lain, orang Madura
menunjukkan naluri yang kuat untuk
menjamin dan bertahan
kelangsungan hidup,
karena mereka didorong
untuk menerima dan
memanfaatkan nilai-nilai yang terserap dari luar...

sumber
wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar